Salah seorang teman saya yang rajin mengikuti seminar dan training motivasi pernah menyampaikan, “Saya itu udah sering banget ikut seminar dan membaca buku motivasi tapi kok belum ada hasilnya, ya?”
Pertanyaan seperti ini juga pernah saya ajukan saat pertama kali saya mulai berburu pengetahuan tentang pengembangan dan pemberdayaan diri. Namun fokus saya bukan pada apa yang salah dengan seminar dan buku-buku yang saya baca, melainkan pada apa yang salah dengan diri saya, sehingga pengetahuan pemberdayaan diri itu tidak ampuh mengubah diri saya ke arah yang lebih baik.
Pencarian demi pencarian dan perenungan demi perenungan saya lakukan, saya memilih untuk fokus dan tetap teguh melatih diri dengan mengikuti semua panduan yang pernah saya dapatkan dalam seminar dan buku-buku motivasi. Betapapun orang-orang di sekitar saya sering mempengaruhi saya dengan bahasa-bahasa yang melemahkan, skeptis dan apatis.
Untungnya saya tidak memiliki paradigma berpikir seperti mereka yang memang pada dasarnya lebih suka melihat segala sesuatu dari kacamata sempit dan negatif. Saya beruntung dikaruniai cara berpikir yang terbuka, sebab jika ada orang lain bisa dan berhasil, mestinya saya pun memiliki hak yang sama, bukan?
Jadi, menjawab pertanyaan di atas, saya hanya ingin memberikan ilustrasi sebagai berikut :
Jika kita anggap level emosi keberhasilan itu adalah –10 s.d +10, di mana angka +10 adalah puncak hasil yang kita inginkan. Sekarang, cobalah lihat dengan jujur, sudah berada di manakah posisi kita? Jika sudah berada pada posisi +3 atau +5 misalnya, maka tentu level +10 sudah dekat dan mungkin akan dengan mudah kita raih.
Persoalannya, bagaimana jika kita masih berada di level -3 atau bahkan -7? Berapa level lagikah yang harus kita capai untuk mencapai level 0 saja dulu, sebelum mencapai level +10. Lalu apa yang harus dilakukan untuk bisa lebih cepat meraih hasil yang kita inginkan?
Langkah paling bijaksana untuk menjawab itu adalah, mari kita evaluasi diri kita dengan jujur, seberapa besar kita sudah mengambil langkah untuk memperbaiki diri kita? Seberapa lebar kita membuka diri untuk meningkatkan dan memberdayakan kualitas hidup kita? Seberapa hebat kita mampu mengendalikan diri kita, sehingga kita tidak mudah terjebak dalam pusaran energi dan emosi negatif? Pengetahuan seperti apa yang sudah kita miliki untuk mengembangkan potensi dan sumber daya diri kita? Buku apa yang kita baca? Tontonan televisi seperti apa yang sering kita lihat? Berita apa yang kita sukai? Program seminar atau training seperti apa yang sudah kita ikuti? Cobalah untuk masuk ke dalam diri kita lebih dalam dan tanyakan pada diri kita sendiri.
Masihkah kita menyimpan perasaan benci dan dendam? Masih sering marahkah untuk persoalan sepele? Masih suka iri atau dengki dengan keberhasilan orang lain? Mudah tersinggung, sering kecewa, sedih, cemburu, sakit hati, senang membicarakan keburukkan orang lain?
Apa pengaruhnya itu semua dalam keberhasilan kita? Sederhana saja, jika emosi-emosi negatif itu masih menjadi bagian diri kita, maka kita akan sulit merasakan energi bahagia. Padahal energi bahagia adalah energi terkuat untuk mendatangkan kebahagiaan lain yang telah Allah siapkan untuk kita. Karena energi bahagia merupakan buah dari rasa syukur, dan setiap manusia yang hidupnya dipenuhi rasa syukur, Allah berjanji untuk menambah kenikmatan lain bagi hidupnya.
Sebagai manusia tentu saja kita sering merasa kesulitan dalam mempertahankan keadaan emosi positif kita, sehingga kita lebih sering turun level, setiap kali kita sudah bersusah payah meraihnya. Langkah-langkah apa yang mesti kita persiapkan dan kita latih untuk dapat mencapai level yang lebih baik? Bagaimana merawatnya? Seperti apa seharusnya kita menjaga kestabilan emosi kita, dan lain sebagainya.
Jika level emosi bahagia kita terus merangkak naik, walaupun perlahan-lahan, pastilah puncak perubahan akan tetap kita raih. Apapun yang kita usahakan dengan baik dan terus meningkat ke arah yang lebih baik, maka puncak keberhasilan, hanya tinggal menunggu waktu untuk kita capai.
Tugas kita adalah menyiapkan dan memantaskan diri kita untuk mendapatkan karunia keberhasilan dari Sang Maha Pemilik Kehidupan. “Orang sukses adalah mereka yang hari ini lebih baik dari kemarin, dan kemudian berusaha membuat hari esok lebih baik dari hari ini.”
Ingatlah, bahwa apapun yang kita lakukan di hari ini akan mempengaruhi kualitas kehidupan kita di hari esok, semoga kisah berikut dapat memberi inspirasi :
Seorang pengusaha yang tengah istirahat makan siang, tergelitik untuk menguping percakapan telepon dari seorang anak laki-laki berusia belasan tahun yang duduk tidak jauh darinya.
“Selamat sore, Pak. Bisakah saya mendapat pekerjaan mengecat rumah Bapak?” tanya anak itu.
“Oh, maaf nak, bapak sudah punya orang untuk mengerjakannya,“ demikian sambut orang di seberang telepon.
“Jika bapak menggunakan tenaga saya, bapak boleh membayar saya, setengah dari upah orang itu,” kata anak itu lagi.
“Wah, nak. Bapak sudah sangat puas dengan hasil kerja orang itu. Maaf, ya nak!” dengan sabar si bapak menjawab.
“Saya juga akan membersihkan halaman depan rumah bapak dan memotong rumputnya, saya jamin rumah bapak akan terlihat jauh lebih indah dan bersih,” si anak mencoba memaksa.
“Terima kasih, Nak. Tapi bapak tidak bisa!” jawab si bapak lagi.
“Baiklah jika demikian, pak. Terima kasih,” akhirnya kata si anak laki–laki itu dengan seulas senyum di wajahnya.
Pengusaha yang sejak tadi melihat dan menguping percakapan itu langsung menyapa si anak dengan ramah, “Nak, aku suka sekali dengan sikap dan semangat positifmu. Bagaimana jika aku menawarkan pekerjaan padamu, untuk mengecat rumahku esok hari?”
“Oh, tidak pak, terima kasih. Besok, kebetulan saya harus menjenguk ibu saya,” jawab si anak.
“Lho, tapi ketika kamu bercakap-cakap di telepon tadi, sepertinya kamu sangat menginginkan pekerjaan itu?” si pengusaha mulai heran.
“Oh, bukan begitu, Pak. Saya hanya ingin tahu, apakah pekerjaan saya sudah cukup baik dan bagus. Sayalah orang yang bekerja mengecat rumah untuk Bapak yang baru saja saya hubungi lewat telepon,” kata anak laki-laki itu sambil tersenyum lebar.
Sahabatku, seperti anak laki-laki dalam cerita tadi, selayaknya kita juga perlu mengevaluasi apa-apa yang sudah kita lakukan dalam hidup ini, lihatlah dengan jernih dan obyektif, apakah yang sudah kita lakukan selama ini untuk kehidupan? Apakah yang kita perbuat sudah cukup baik? Tidak menyakiti perasaan orang lain? Sudah ramahkah kita pada orang-orang yang kita jumpai selama ini? Bagaimana sikap kita terhadap orang yang telah banyak membantu kita? Bagaimana dengan sikap mental kita, pikiran, emosi dan perasaan kita, bisakah kita mengendalikannya? Atau justru kita malah menjadi budak pikiran dan perasaan kita?
Untuk sukses, kebahagiaan anda dalam melakukan proses pencapaian, harus lebih besar daripada kekhawatiran anda terhadap kegagalan ~ R.Rivano